Rabu, 19 Mei 2010

Negeri 5 menara


Judul : Negeri 5 menara
Pengarang : A. Fuadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Masih jelas dalam benakku, ketika selepas tamat sekolah dasar terjadilah sebuah percakapan seperti ini :
Ibu : "kak, nanti nerusin sekolahnya di pesantren aja yah.."
aku : "pesantren..??" (sambil mikir)
Ibu : "iya, pesantren, nanti ibu carikan pesantren untuk perempuan yang bagus.Nanti kalau sudah di pesantren, hidup kakak bisa teratur dan belajar bisa lebih baik lagi..".
aku : "ya sudahlah...terserah aja".

Ya, percakapan itulah yang terjadi beberapa puluh tahun yang silam, saat ku lulus dari sekolah dasar dan akan melanjutkan ke tingkat menengah pertama. Tapi meski pada akhirnya, ku tak jadi masuk pesantren (karena di terima di smp negeri), masih jelas pertanyaan yang timbul hingga sekarang... seperti apa sih pesantren itu ? kok ibu bilang "hidupku akan lebih teratur..?"

Memang, pandangan masyarakat saat ini terhadap pesantren agaklah kurang baik, kalau menurut saya pandangan itu bukanlah kurang baik, tapi pengharapan masyarakat yang terlalu tinggi pada pesantren. Contohnya, jika seorang anak di tanya, sekolah dimana, lalu di jawab di pesantren, langsung di benak kita tertanam bahwa anak itu adalah anak tidak benar (narkoba, married by accident, tukang tawuran, dll...dll) . Yah, kenapa sih pesantren selalu identik dengan hal-hal seperti itu?
Pengharapan orang adalah, ketika si anak melakukan tindakan-tindakan di luar dari jalur norma, agama, maka untuk mengembalikan ke 'jalan yang benar' haruslah masuk pesantren.
Jadi pesantren itu lebih mirip dong dengan pusat rehabilitasi ?? Apalagi, saat ini, pesantren lebih menjurus ke arah teroris... Loh kok bisa....??? Atau sisi positifnya dari sekolah di pesantren adalah, gak jauh-jauh bakal berkarir menjadi guru agama, guru ngaji dan lainnya... lebih kasarnya tidak bisa terjun ke bidang lainnya.

*****

Hmmm... syukurlah, karena ada Ahmad Fuadi inilah setidak-tidaknya citra pesantren bisa lebih terangkat ke arah yang positif.
Diceritakan dalam novel debutan pertamanya, adalah Alif yang tak lain si pengarang sendiri. Seorang anak laki-laki yang berasal dari Bayur, sebuah daerah di Sumatera Barat. Cita-citanya adalah meneruskan pendidikan setelah tingkat menengahnya selesai ke jenjang menengah atas yang populer. Memang untuk masuk sekolah-sekolah unggulan tersebut, ada suatu "prestise" yang tumbuh di dalam diri sang anak. Tapi apa daya, Alif kecil harus menuruti nasehat sang ibu untuk melanjutkan pendidikannya di sebuah pesantren. Perbedaan pandangan inilah membuat Alif kecil menjadi kecewa. Hingga akhirnya ia menawarkan akan masuk pesantren jika tempatnya ada di pulau Jawa. Sang ibunda pun mengiyakan, dan membiarkan Alif untuk menuntut ilmu di sebuah pesantren di pulau Jawa.
Masuk ke 'dunia' baru, jelaslah membuat Alif merasa asing. Segala aturan yang diterapkan berbeda sekali dengan sekolah-sekolah menengah atas pada umumnya. Seiring dengan berjalannya waktu, Alif akhirnya dapat menyatu dengan lingkungan barunya, dan sudah memiliki 5 orang kawan baru, yang nantinya akan menjadi sahabat baiknya.
Ke 5 sahabat ini saling bahu membahu membantu sesama temannya yang kurang dalam pelajaran tertentu. Kebetulan masing-masing mereka menonjol dalam bidang pelajaran tertentu. Bahu membahu tidak hanya dalam pelajaran, tapi dalam keseharian mereka, terutama saat-saat berat yang harus mereka hadapi bersama dalam 2 semester pertama. Pelajaran bahasa arab, menggunakan bahasa arab dalam kegiatan sehari-hari, shalat malam, siskamling bergiliran, bangun pagi buta dan lain sebagainya. Karena jika tata cara dan aturan di langgar, maka hukuman pun menanti.

Semester demi semester pun terlewati, dibenak 5 sahabat ini, sudah terpikirkan akan kemanakah mereka selepas dari pesantren ini..? Ada yang ingin melanjutkan pendidikan di Al Azhar Kairo, di Inggris, di Paris, bahkan di Indonesia sendiri. Masing-masing bertekad untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu dan akan bertemu dikemudian hari di Inggris.
Dengan penggemblengan yang kuat dari para guru di pesantren, dan keinginan yang berapi-api tersebut, maka akhirnya pun membuahkan hasil yang manis. Dimana ke 5 sahabat tadi berhasil mewujudkan mimpi-mimpi mereka.

*****

Negeri 5 menara, sebuah judul yang unik. Mengambil 5 menara besar di dunia yang menjadi impian para sahabat-sahabat tadi. Mengejar impian masing-masing untuk mendapatkan apa yang di cita-citakan dari kecil dahulu.
Ahmad Fuadi sang penulis, agaknya berhasil menghapus image buruk pesantren dari benak saya. Selain karena tulisan ini adalah karya yang berdasarkan pengalaman pribadinya, jelas dapat mematahkan semua pandangan masyarakat di atas, karena beliau telah membuktikannya. Setelah lulus dari pesantren, beliau melanjutkan studinya ke universitas Padjajaran Bandung, mengambil jurusan Hubungan Internasional. Setelah lulus, ia bekerja sebagai wartawan pada majalah Tempo, dan mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan kembali pendidikannya dengan mendapatkan beasiswa ke George Washington Unversity. Tahun 2004, ia kembali mendapatkan beasiswa ke Inggris. Hingga detik ini penulis masih bekerja sebagai wartawan disamping bekerja di sebuah NGO konservasi.

Satu kutipan yang saya sukai dari buku ini :
Man Jadda Wa Jadda
"siapa yang bersungguh-sungguh maka akan berhasil"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar