Judul : Batavia awal abad 20
Kar. HCC Clockener Brousson
Penerbit : Komunitas Bambu
Ahh...... pada awal melihat buku ini, jelas ekspektasi saya tinggi. Dalam benak ini sudah terbayangkan mengenai sejarah serta asal usul kota Batavia aka Jakarta. Setelah lihat sana lihat sini, bolak balik buku itu, akhirnya pun saya memutuskan untuk membelinya. Wuah... bakalan seru pastinya ini buku......
Tak sabar, maka di dalam perjalanan pulang pun sampul plastik buku tersebut saya buka. Hmm... Halaman demi halaman mulai saya jelajahi... tapi begitu masuk ke halaman tengah..??
wakkksssss.......!!!!
Ini sih bukan tentang sejarah Batavia, tapi lebih cocoknya masuk kepada kategori buku travelling. Yah travelling ke Batavia pada awal abad 20. So.... lanjutttt.... hmm.. tetap menarik.
*****
Cerita dimulai pada saat seorang jurnalistik terkemuka di Hindia Belanda saat itu, tuan HCC Clockner yang menemukan sepucuk surat misterius di mejanya. Meskipun surat tersebut tidak ada nama serta alamat si pengirimnya tapi tidak menyurutkan sang jurnalist untuk membuka surat itu . Maka ia pun membacanya, dan ternyata surat misterius itu datang dari seorang mantan prajurit Hindia Belanda yang menuliskan mengenai keadaan serta hiruk pikuknya Batavia pada saat masanya. Sang mantan prajurit yang masih merahasiakan identitas dirinya, amat dan sangat berharap sekali, cerita mengenai Batavia tempo dulu buah karyanya dapat dimuat di majalah atau dijadikan buku yang dapat diterbitkan di Belanda.
Meskipun sang penulis cerita tidak mau membuka jati diri yang sebenarnya, namun hal itu nampaknya tidak menjadi masalah bagi Tuan Clockner, hingga ia bertekad untuk menerbitkan buku tersebut dan merapikan tulisannya. Maka, jadilah tulisan itu dalam bentuk sebuah buku yang saat ini berada di tangan saya.
*****
Well...well...well
Dalam waktu semalam pun, buku ini habis saya lahap. Dan dapat saya simpulkan mengenai kota Batavia saat itu hingga sekarang adalah (tentunya based on the book) :
1. Dari jaman dulu hingga sekarang (yang katanya sudah modern...) orang Jakarta kayaknya gak afdol kalau naik kendaraan umum gak berebutan. Selak menyelak sudah menjadi hal biasa. Yang membedakan jaman dulu dan jaman sekarang hanyalah jenis transportasi yang digunakan pada saat itu. Kalau jaman dulu, orang berebutan naik kereta uap, jaman sekarang pun untuk naik busway juga berebutan.....
2. Mungkin udah bawaan 'orog' kali ya (kalau menurut orang Jakarta aseli alias Betawi) ?
Kalau ternyata dari dulu pun hingga sekarang Jakarta tetap gak bisa terlihat rapi, bersih dan nyaman. Terbukti pada tahun 1700 Jakarta sudah dilanda penyakit demam berdarah dan malaria. Hingga sekarang pun, media masih gencar memberitakan penyakit-penyakit tersebut, apalagi pasca musim kering dan pasca banjir...
3. Dan lucunya nih, jaman dahulu pun kantor pos memang tidak bisa dipercaya... hahahaha...
Kredibilitas kantor pos memang meragukan sekali. Sedikit kenangan waktu baru lulus kuliah dan sedang gencar mencari kerja, bisa di bilang nyaris tiap hari saya ke kantor pos untuk mengirimkan surat lamaran kerja. Tap setelah berminggu-minggu hingga berbulan-bulan tidak mendapatkan kabar dari kantor yang bersangkutan, hati kecil saya berbisik ;
"mungkin gak sih kalau surat lamaran saya tidak keterima oleh kantor itu? "
Apalagi kalau saya mengirimkan surat lamaran itu di hari Jum'at, wuah sudah deh sehari-hari akan dihabiskan untuk mendoakan surat lamaran itu, karena terpotong 2 hari libur.
Balik lagi ke cerita tentang Batavia ini.
Ternyata pada jamannya dulu sang Gubernamen (mungkin sekarang Gubernur x ya...) juga tidak mempercayai kinerja kantor pos, dikarenakan banyak surat-surat tercatat masa itu sering hilang. Wow.... bagaimana dengan surat-surat yang tidak tercatat?? Pasti nasibnya hanya Tuhan yang tahu...
4. Nah ini nih... sebagai warga Jakarta, jangan sekali-sekalinyalah berharap bahwa kali Ciliwung itu bakal bersih. Seperti pada poin nomor 2 diatas, sudah bawaan orog... hihihih....
5. Dan sudah dari sananya, Jakarta memang bisa dibilang surga buat para pengemis, lha dari dulu sampai sekarang, jumlah pengemis yang membanjiri ibukota bukannya berkurang tapi malah membludak terus tiap tahunnya.
Tapi biar bagaimanapun keadaan Jakarta, sang penulis tetap bangga kepada negeri ini. Di akui sang penulis, kota Jakarta masih lebih berbudaya dibandingkan dengan kotanya sendiri. Hal ini terbukti, ketika sang penulis mendatangi salah satu musium terkenal di Jakarta, ia begitu kaget melihat koleksi musium tersebut. Banyak koleksi yang tidak dimiliki di Rijkmusium Amsterdam Belanda. Termasuk di dalamnya benda-benda kuno peninggalan bangsa Moor Spanyol dan bangsa Saraken, Afrika Utara.
Hmm.... membahas mengenai peninggalan kuno yang ada di Indonesia, saya jadi teringat oleh sebuah berita di media cetak mengenai penjualan naskah-naskah kuno kepada pihak asing, selain itu juga saya juga tidak bisa menutup mata melihat kondisi yang menyedihkan pada musium-musium yang ada di Jakarta.
Ok.... dari buku mungil ini saya bisa mengambil kesimpulan, bahwa sudah suratan takdir negeri ini tidak bisa menghargai hasil dari jerih payah sendirinya. Tidak itu saja, sesuatu yang bagus, tapi begitu diletakkan di Jakarta akan menjadi buruk, jelek, rusak, dll.
Bisa terlihat dari halte busway, banyak besinya diambil oleh orang yang tak bertanggung jawab. Jembatan Suramadu yang menjadi jembatan penting , menghubungkan antara Surabaya dan Madura, ternyata besi dan bautnya dipreteli oleh tangan-tangan jahil, mural-mural yang ada di kolong jembatan, terlihat bukan sebagai suatu karya seni, tapi suatu yang terkesan jorok, kumuh, dan sangat dekat dengan vandalisme. Pagar-pagar pembatas jalan yang rusak, dan lain sebagainya... How come...????
Sepertinya hal-hal diatas sudah mendarah daging bagai warga Jakarta dari dulu hingga sekarang.
*****
Eniwey, biar bagaimanapun kondisi kota Jakarta, Saya masih mencintainya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Hmm... saya tak sanggup berpisah dengan film-film serta cd-cd bajakannya, barang-barang branded dengan harga miring. Tidak sanggup kehilangan BMS, Pasar Senen, JACC, yang penuh dengan penjual buku-buku bekas dan bajakannya, saya tidak bisa lepas dari pedagang kaki lima yang menjual beraneka makanan murah meriah termasuk warteg (terutama yang berada di pinggiran UI yang sekarang sudah kena gusur)... Gak sanggup untuk tidak saling berebut untuk naik kendaraan umum... lho...?
Jakarta oh... Jakarta..
Seperti kata alm. Mbah Surip... Jakarta I lophe u full !!!
Kar. HCC Clockener Brousson
Penerbit : Komunitas Bambu
Ahh...... pada awal melihat buku ini, jelas ekspektasi saya tinggi. Dalam benak ini sudah terbayangkan mengenai sejarah serta asal usul kota Batavia aka Jakarta. Setelah lihat sana lihat sini, bolak balik buku itu, akhirnya pun saya memutuskan untuk membelinya. Wuah... bakalan seru pastinya ini buku......
Tak sabar, maka di dalam perjalanan pulang pun sampul plastik buku tersebut saya buka. Hmm... Halaman demi halaman mulai saya jelajahi... tapi begitu masuk ke halaman tengah..??
wakkksssss.......!!!!
Ini sih bukan tentang sejarah Batavia, tapi lebih cocoknya masuk kepada kategori buku travelling. Yah travelling ke Batavia pada awal abad 20. So.... lanjutttt.... hmm.. tetap menarik.
*****
Cerita dimulai pada saat seorang jurnalistik terkemuka di Hindia Belanda saat itu, tuan HCC Clockner yang menemukan sepucuk surat misterius di mejanya. Meskipun surat tersebut tidak ada nama serta alamat si pengirimnya tapi tidak menyurutkan sang jurnalist untuk membuka surat itu . Maka ia pun membacanya, dan ternyata surat misterius itu datang dari seorang mantan prajurit Hindia Belanda yang menuliskan mengenai keadaan serta hiruk pikuknya Batavia pada saat masanya. Sang mantan prajurit yang masih merahasiakan identitas dirinya, amat dan sangat berharap sekali, cerita mengenai Batavia tempo dulu buah karyanya dapat dimuat di majalah atau dijadikan buku yang dapat diterbitkan di Belanda.
Meskipun sang penulis cerita tidak mau membuka jati diri yang sebenarnya, namun hal itu nampaknya tidak menjadi masalah bagi Tuan Clockner, hingga ia bertekad untuk menerbitkan buku tersebut dan merapikan tulisannya. Maka, jadilah tulisan itu dalam bentuk sebuah buku yang saat ini berada di tangan saya.
*****
Well...well...well
Dalam waktu semalam pun, buku ini habis saya lahap. Dan dapat saya simpulkan mengenai kota Batavia saat itu hingga sekarang adalah (tentunya based on the book) :
1. Dari jaman dulu hingga sekarang (yang katanya sudah modern...) orang Jakarta kayaknya gak afdol kalau naik kendaraan umum gak berebutan. Selak menyelak sudah menjadi hal biasa. Yang membedakan jaman dulu dan jaman sekarang hanyalah jenis transportasi yang digunakan pada saat itu. Kalau jaman dulu, orang berebutan naik kereta uap, jaman sekarang pun untuk naik busway juga berebutan.....
2. Mungkin udah bawaan 'orog' kali ya (kalau menurut orang Jakarta aseli alias Betawi) ?
Kalau ternyata dari dulu pun hingga sekarang Jakarta tetap gak bisa terlihat rapi, bersih dan nyaman. Terbukti pada tahun 1700 Jakarta sudah dilanda penyakit demam berdarah dan malaria. Hingga sekarang pun, media masih gencar memberitakan penyakit-penyakit tersebut, apalagi pasca musim kering dan pasca banjir...
3. Dan lucunya nih, jaman dahulu pun kantor pos memang tidak bisa dipercaya... hahahaha...
Kredibilitas kantor pos memang meragukan sekali. Sedikit kenangan waktu baru lulus kuliah dan sedang gencar mencari kerja, bisa di bilang nyaris tiap hari saya ke kantor pos untuk mengirimkan surat lamaran kerja. Tap setelah berminggu-minggu hingga berbulan-bulan tidak mendapatkan kabar dari kantor yang bersangkutan, hati kecil saya berbisik ;
"mungkin gak sih kalau surat lamaran saya tidak keterima oleh kantor itu? "
Apalagi kalau saya mengirimkan surat lamaran itu di hari Jum'at, wuah sudah deh sehari-hari akan dihabiskan untuk mendoakan surat lamaran itu, karena terpotong 2 hari libur.
Balik lagi ke cerita tentang Batavia ini.
Ternyata pada jamannya dulu sang Gubernamen (mungkin sekarang Gubernur x ya...) juga tidak mempercayai kinerja kantor pos, dikarenakan banyak surat-surat tercatat masa itu sering hilang. Wow.... bagaimana dengan surat-surat yang tidak tercatat?? Pasti nasibnya hanya Tuhan yang tahu...
4. Nah ini nih... sebagai warga Jakarta, jangan sekali-sekalinyalah berharap bahwa kali Ciliwung itu bakal bersih. Seperti pada poin nomor 2 diatas, sudah bawaan orog... hihihih....
5. Dan sudah dari sananya, Jakarta memang bisa dibilang surga buat para pengemis, lha dari dulu sampai sekarang, jumlah pengemis yang membanjiri ibukota bukannya berkurang tapi malah membludak terus tiap tahunnya.
Tapi biar bagaimanapun keadaan Jakarta, sang penulis tetap bangga kepada negeri ini. Di akui sang penulis, kota Jakarta masih lebih berbudaya dibandingkan dengan kotanya sendiri. Hal ini terbukti, ketika sang penulis mendatangi salah satu musium terkenal di Jakarta, ia begitu kaget melihat koleksi musium tersebut. Banyak koleksi yang tidak dimiliki di Rijkmusium Amsterdam Belanda. Termasuk di dalamnya benda-benda kuno peninggalan bangsa Moor Spanyol dan bangsa Saraken, Afrika Utara.
Hmm.... membahas mengenai peninggalan kuno yang ada di Indonesia, saya jadi teringat oleh sebuah berita di media cetak mengenai penjualan naskah-naskah kuno kepada pihak asing, selain itu juga saya juga tidak bisa menutup mata melihat kondisi yang menyedihkan pada musium-musium yang ada di Jakarta.
Ok.... dari buku mungil ini saya bisa mengambil kesimpulan, bahwa sudah suratan takdir negeri ini tidak bisa menghargai hasil dari jerih payah sendirinya. Tidak itu saja, sesuatu yang bagus, tapi begitu diletakkan di Jakarta akan menjadi buruk, jelek, rusak, dll.
Bisa terlihat dari halte busway, banyak besinya diambil oleh orang yang tak bertanggung jawab. Jembatan Suramadu yang menjadi jembatan penting , menghubungkan antara Surabaya dan Madura, ternyata besi dan bautnya dipreteli oleh tangan-tangan jahil, mural-mural yang ada di kolong jembatan, terlihat bukan sebagai suatu karya seni, tapi suatu yang terkesan jorok, kumuh, dan sangat dekat dengan vandalisme. Pagar-pagar pembatas jalan yang rusak, dan lain sebagainya... How come...????
Sepertinya hal-hal diatas sudah mendarah daging bagai warga Jakarta dari dulu hingga sekarang.
*****
Eniwey, biar bagaimanapun kondisi kota Jakarta, Saya masih mencintainya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Hmm... saya tak sanggup berpisah dengan film-film serta cd-cd bajakannya, barang-barang branded dengan harga miring. Tidak sanggup kehilangan BMS, Pasar Senen, JACC, yang penuh dengan penjual buku-buku bekas dan bajakannya, saya tidak bisa lepas dari pedagang kaki lima yang menjual beraneka makanan murah meriah termasuk warteg (terutama yang berada di pinggiran UI yang sekarang sudah kena gusur)... Gak sanggup untuk tidak saling berebut untuk naik kendaraan umum... lho...?
Jakarta oh... Jakarta..
Seperti kata alm. Mbah Surip... Jakarta I lophe u full !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar