Judul : Di selubung malam
Pengarang : Novia Syahidah
Penerbit : DAR ! Mizan
Mandalika oh Mandalika.....
Mengapa nasibmu malang nian....
Tidak secantik namamu,
bak nama seorang putri,
Putri Mandalika
Mandalika adalah seorang gadis muda yang besar di sebuah kampung kecil bernama Meninting di Lombok. Terlahir dari keturunan bangsawan suku Sasak, tidak membuat dirinnya menjadi besar kepala. Ibunya, Saqnah adalah seorang wanita keturunan bangsawan tinggi dari kampung Bayan Timur, menikahi seorang pria keturunan bangsawan 'biasa' dari daerah Narmada. Pernikahan Saqnah dengan bangsawan 'biasa' yang bernama Gerantang rupanya tidak mendapat restu dari Rahadian Sigeti, ayah Saqnah. Hal ini terjadi karena Gerantang berasal dari daerah di luar kampung Bayan dan permintaan mas kawin yang terlampau mahal dan sudah pasti tidak dapat dipenuhi oleh Gerantang, meskipun ia seorang bangsawan.
Daripada seumur hidup menjadi perawan tua hanya karena mempertahankan adat, berbekal dorongan dan opitimisme yang tinggi dari sang kakak, Apti, Saqnah pun memberanikan diri untuk kawin lari dengan Gerantang.
Setelah berpindah-pindah tempat tinggal, akhirnya pasangan suami istri itu menetap di desa Meninting, sebuah desa yang jauh di pedalaman Lombok. Saqnah dan suaminya pun bahu membahu menghidupi keluarga kecil mereka, apalagi anggota keluarga sudah bertambah dengan kehadiran 2 orang buah hatinya. Yang pertama bernama Jagat Wira dan yang ke dua bernama Mandalika.
Sejak pindah ke kampung Meninting, tabiat Gerantang mulai berubah. Ia doyan mabuk dan berjudi. Hasil panen, kerbau dan sapi sudah habis digunakan untuk membayar hutang kekalahannya. Hingga pada akhirnya Gerantang terjebak dalam lingkaran lintah darat yang terkenal kejam di kampung itu.
Karena harta bendanya sudah habis dipergunakan untuk membayar hutang judi, maka pada saat si lintah darat, Munahar menagih hutang-hutangnya yang lain, Gerantang tidak siap untuk menghadapinya. Ancaman demi ancaman di berikan kepada Gerantang hingga pada akhirnya ia harus membayar hutang-hutang tersebut dengan memberikan sang istri. Meskipun di dalam lubuk hatinya yang paling dalam ia tidak rela, tapi mau bagaimana lagi daripada mati sia-sia. Sedangkan ia sendiri di buang oleh Munahar ke Sumbawa.
Bagaimana kelanjutan hidup Mandalika beserta sang ibu, lepas dari sang ayah?
Sedikit demi sedikit sang Ibu beserta Mandalika mulai menyusun dan memulai kehidupan baru. Meskipun mereka masih saja bertanya-tanya kemanakah sang ayah. Semua yang berhubungan dengan "masa kelam" yang dihadapi oleh ibunya berusaha dikubur Mandalika. Baginya hal itu hanyalah mengobarkan api kemarahan dalam dirinya saja.
Lalu bagaimana pula reaksi kakak Mandalika mengetahui hal yang menimpa sang adik dan ibunda tercintanya ? apakah ia akan menuntut balas kepada sang ayah atau malah akan memaafkannya?
Temukan jawabannya pada buku ini.
*****
Sekali lagi buah karya dari Forum Lingkar Pena yang saya kagumi. Meskipun tema yang diangkat bukan merupakan tema baru atau unik, tapi tetap tidak membuat saya ingin melepaskan buku ini. Cukup salut kepada FLP, setiap buku yang ditulisnya selalu bermuatan dakwah, nasihat, dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dan semuanya itu dikemas secara apik, tidak menggurui, tidak menasehati hingga pesan yang termuat di dalamnya bisa dicerna pembacanya. Mengambil latar cerita di sebuah desa kecil di pedalaman NTB membuat buku ini "kaya akan cita rasa". Tentunya akan terus membuka mata kita untuk selalu bersyukur kepada sang Khalik.
Pengarang : Novia Syahidah
Penerbit : DAR ! Mizan
Mandalika oh Mandalika.....
Mengapa nasibmu malang nian....
Tidak secantik namamu,
bak nama seorang putri,
Putri Mandalika
Mandalika adalah seorang gadis muda yang besar di sebuah kampung kecil bernama Meninting di Lombok. Terlahir dari keturunan bangsawan suku Sasak, tidak membuat dirinnya menjadi besar kepala. Ibunya, Saqnah adalah seorang wanita keturunan bangsawan tinggi dari kampung Bayan Timur, menikahi seorang pria keturunan bangsawan 'biasa' dari daerah Narmada. Pernikahan Saqnah dengan bangsawan 'biasa' yang bernama Gerantang rupanya tidak mendapat restu dari Rahadian Sigeti, ayah Saqnah. Hal ini terjadi karena Gerantang berasal dari daerah di luar kampung Bayan dan permintaan mas kawin yang terlampau mahal dan sudah pasti tidak dapat dipenuhi oleh Gerantang, meskipun ia seorang bangsawan.
Daripada seumur hidup menjadi perawan tua hanya karena mempertahankan adat, berbekal dorongan dan opitimisme yang tinggi dari sang kakak, Apti, Saqnah pun memberanikan diri untuk kawin lari dengan Gerantang.
Setelah berpindah-pindah tempat tinggal, akhirnya pasangan suami istri itu menetap di desa Meninting, sebuah desa yang jauh di pedalaman Lombok. Saqnah dan suaminya pun bahu membahu menghidupi keluarga kecil mereka, apalagi anggota keluarga sudah bertambah dengan kehadiran 2 orang buah hatinya. Yang pertama bernama Jagat Wira dan yang ke dua bernama Mandalika.
Sejak pindah ke kampung Meninting, tabiat Gerantang mulai berubah. Ia doyan mabuk dan berjudi. Hasil panen, kerbau dan sapi sudah habis digunakan untuk membayar hutang kekalahannya. Hingga pada akhirnya Gerantang terjebak dalam lingkaran lintah darat yang terkenal kejam di kampung itu.
Karena harta bendanya sudah habis dipergunakan untuk membayar hutang judi, maka pada saat si lintah darat, Munahar menagih hutang-hutangnya yang lain, Gerantang tidak siap untuk menghadapinya. Ancaman demi ancaman di berikan kepada Gerantang hingga pada akhirnya ia harus membayar hutang-hutang tersebut dengan memberikan sang istri. Meskipun di dalam lubuk hatinya yang paling dalam ia tidak rela, tapi mau bagaimana lagi daripada mati sia-sia. Sedangkan ia sendiri di buang oleh Munahar ke Sumbawa.
Bagaimana kelanjutan hidup Mandalika beserta sang ibu, lepas dari sang ayah?
Sedikit demi sedikit sang Ibu beserta Mandalika mulai menyusun dan memulai kehidupan baru. Meskipun mereka masih saja bertanya-tanya kemanakah sang ayah. Semua yang berhubungan dengan "masa kelam" yang dihadapi oleh ibunya berusaha dikubur Mandalika. Baginya hal itu hanyalah mengobarkan api kemarahan dalam dirinya saja.
Lalu bagaimana pula reaksi kakak Mandalika mengetahui hal yang menimpa sang adik dan ibunda tercintanya ? apakah ia akan menuntut balas kepada sang ayah atau malah akan memaafkannya?
Temukan jawabannya pada buku ini.
*****
Sekali lagi buah karya dari Forum Lingkar Pena yang saya kagumi. Meskipun tema yang diangkat bukan merupakan tema baru atau unik, tapi tetap tidak membuat saya ingin melepaskan buku ini. Cukup salut kepada FLP, setiap buku yang ditulisnya selalu bermuatan dakwah, nasihat, dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dan semuanya itu dikemas secara apik, tidak menggurui, tidak menasehati hingga pesan yang termuat di dalamnya bisa dicerna pembacanya. Mengambil latar cerita di sebuah desa kecil di pedalaman NTB membuat buku ini "kaya akan cita rasa". Tentunya akan terus membuka mata kita untuk selalu bersyukur kepada sang Khalik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar