Judul : Hebron Journal
Pengarang : Arthur Gish
Penerbit : Mizan
Buku ini sebenarnya sudah saya miliki sejak tahun 2007. Asal mula mendapatkan buku ini adalah dengan datangnya 2 lembar undangan ke meja kerja saya, yang mengundang untuk hadir dalam peluncuran buku ini. Tentu saja, undangan tersebut tidak boleh disia-siakan. Berdua dengan bos, akhirnya kita menghadiri acara tersebut, yang ternyata dihadiri pula oleh sang penulis aslinya Arthur G Gish.
*****
Siapakah Arthur G Gish ini ? itulah pertanyaan pertama yang muncul di benak saya ketika membaca nama sang pengarang pada bukunya. Pertanyaan selanjutnya yang menari-nari di kepala ini adalah, "apakah dia orang islam atau bukan ?" mengingat buku yang dikarangnya membahas tentang pertikaian "abadi" antara Palestina dan Israel.
Dan terjawablah sudah pertanyaan-pertanyaan tersebut ketika diskusi mulai.
Sedikit informasi mengenai Arthur G Gish ini. Beliau adalah salah satu dari sekian banyak aktivis kemanusiaan yang non muslim. Arthur sendiri beserta sang istri menganut kepercayaan Kristiani. Beliau dan istrinya tergabung dalam Christian Peacemaker Teams (CPT) yang dibentuk pada tahun 1980, ketika jemaat gereja perdamaian sedang mencari cara baru untuk mengekspresikan keyakinan mereka, karena di benak mereka semua sadar bahwa untuk menghadang senjata dan cara-cara kekerasan tidak dapat dengan senjata juga, tapi dengan tenaga kreatif anti kekerasan.
Balik lagi tentang Arthur G Gish. Sebagai aktivis kemanusiaan, semangat dan tekadnya selalu membara untuk membantu pertikaian-pertikaian yang ada di dunia. Pada tahun 1960, minat terhadap konflik Palestina dan Israel muncul, hal ini disebabkan karena ia dan istrinya mengunjungi Tanah Suci. Saat itu pun sang istri, Peggy juga seorang aktivis kemanusiaan dalam CPT yang di delegasikan untuk pergi ke Tepi Barat. Kali ini merupakan tim CPT bekerja di Timur Tengah.
Pada tahun 1995, salah seorang pemimpin mereka memanggil Arthur untuk bergabung dengan tim misi kemanusiaan di Hebron pada bulan Desember.
Maka sejak itu, dimulailah "petualangan" sang aktivis di daerah yang penuh dengan konflik berdarah.
Pada awal-awal bulan menginjakkan kaki di Hebron (misi kemanusiaan ini dijalankan sejak tahun 1995 hingga 2001), Arthur berusaha bersosialisasi kepada semua kalangan. Baik itu para pemukim Palestina, Israel maupun para tentara. Ini merupakan hal baru bagi dirinya, dan ia melihat dengan jelas sekali bagaimana rakyat Palestina menderita akibat konflik yang berkepanjangan. Tidak jarang pula, ia dan rekannya dianggap 'cinta palestina' oleh masyarakat Israel dan para tentara, tapi tak jarang pula ia dianggap sebagai 'sahabat Israel' oleh bangsa Palestina.
Pada awalny Gish, tidak terlalu mempercayai bahwa konflik yang terjadi antara Palestina dan Israel sudah sedemikan parahnya. Tapi, sejak menginjakkan kaki di Hebron, semua yang tidak pernah ia bayangkan terjadi di depan matanya. Ia terus memahami dan mengkaji perjanjian-perjajian tempo dulu antara pihak Palestina dan Israel. Dimatanya, perjanjian-perjanjian itu tidaklah adil karena hanya menguntungkan bagi satu pihak saja, yaitu Israel. Gish merasa sedih, melihat sedikit demi sedikit pemukiman warga asli Palestina mulai di gusur guna pembangunan jalan raya bagi kepentingan para pemukim yaitu warga Israel, tanpa memperbolehkan warga Palestina untuk menggunakannya. Menurutnya perjanjian itu terlalu semena-mena terhadap warga Palestina.
Selain itu juga, tingkah para polisi Israel yang tidak menghormati dirinya. Sering kali ia diminta untuk menjadi memata-matai para pemukim Palestina. Padahal hal itu tidaklah sesuai dengan misi yang ia emban. Masih banyak sekali pihak Israel yang tidak mengetahui misi dan visi kedatangan Gish beserta kawannya. Kebanyakan mereka menganggap Gish merupakan kelompok mediator atau kelompok dari aksi solidaritas. Dan yang lebih parahnya, ada yang menganggap dirinya bekerja untuk mata-mata negara tertentu.
Sebagai seorang yang beragama Kristen yang taat. Gish amat dan sangat menentang zionisme Israel. Baginya itu adalah penyelewengan terhadap keyakinan dan pemahaman Alkitab. Tuhan bukanlah makelar tanah. Pemahaman apapun menyangkut hak eksklusif dan membenarkan pengusiran penduduk dari rumahnya merupakan salah satu bentuk dari pengingkaran terhadap Tuhan. karena Tuhanlah sang pemilik yang abadi.
Gish merupakan pribadi yang lembut, menghargai segala macam bentuk perbedaan. Hal ini pun terlihat pada dirinya mengenai kekagumannya terhadap bangsa Palestina. Meskipun nyaris setiap hari warga Palestina mendapatkan ancaman dan tekanan dari polisi Israel, tapi mereka semua berusaha tabah menghadapinya. Kesederhanaan dan keoptimisan hidup selalu terpancar di muka-muka mereka. Di tengah-tengah konflik yang entah kapan akan berakhir, para warga Palestina terus menerus menjalani perintah agamanya.
Gish pun juga amat terkesan dengan cara berpakaian perempuan Palestina. "Wanita tidak berpakaian sebagai objek seks" ungkapnya (hal 148). "Sungguh melegakan jika kaum pria tidak selalu harus berjuang melawan godaan untuk menganggap wanita yang berpakaian kurang senonoh sebagai objek seks". Lanjutnya, "kebudayaan muslim Palestina ini bagiku sepertinya jauh lebih dekat kepada apa yang Tuhan inginkan atas kita daripada kebudayaan Barat".
****
Membahas mengenai krisis Palestina dan Israel inipun seakan tidak ada ujungnya. Perbuatan yang dilakukan oleh bangsa Israel pun sudah diluar dari batas kewajaran dan kemanusiaan. Konflik ini pun sudah bergeser tujuannya, semula merupakan konflik antar agama tapi bergeser kepada konflik kemanusiaan. Mereka tidak akan ragu-ragu untuk melawan siapa saja yang akan melintasi daerah Palestina, meskipun itu adalah bantuan kemanusiaan.
Ahh...Israel....Israel... kapan kamu akan bertobat ???
Dan untuk Palestina, teruslah berjuang untuk meraih hak kalian yang telah di rampas, meskipun kita tidak pernah tahu kapan itu akan terjadi .....!!
We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight (Michael Hart)
Pengarang : Arthur Gish
Penerbit : Mizan
Buku ini sebenarnya sudah saya miliki sejak tahun 2007. Asal mula mendapatkan buku ini adalah dengan datangnya 2 lembar undangan ke meja kerja saya, yang mengundang untuk hadir dalam peluncuran buku ini. Tentu saja, undangan tersebut tidak boleh disia-siakan. Berdua dengan bos, akhirnya kita menghadiri acara tersebut, yang ternyata dihadiri pula oleh sang penulis aslinya Arthur G Gish.
*****
Siapakah Arthur G Gish ini ? itulah pertanyaan pertama yang muncul di benak saya ketika membaca nama sang pengarang pada bukunya. Pertanyaan selanjutnya yang menari-nari di kepala ini adalah, "apakah dia orang islam atau bukan ?" mengingat buku yang dikarangnya membahas tentang pertikaian "abadi" antara Palestina dan Israel.
Dan terjawablah sudah pertanyaan-pertanyaan tersebut ketika diskusi mulai.
Sedikit informasi mengenai Arthur G Gish ini. Beliau adalah salah satu dari sekian banyak aktivis kemanusiaan yang non muslim. Arthur sendiri beserta sang istri menganut kepercayaan Kristiani. Beliau dan istrinya tergabung dalam Christian Peacemaker Teams (CPT) yang dibentuk pada tahun 1980, ketika jemaat gereja perdamaian sedang mencari cara baru untuk mengekspresikan keyakinan mereka, karena di benak mereka semua sadar bahwa untuk menghadang senjata dan cara-cara kekerasan tidak dapat dengan senjata juga, tapi dengan tenaga kreatif anti kekerasan.
Balik lagi tentang Arthur G Gish. Sebagai aktivis kemanusiaan, semangat dan tekadnya selalu membara untuk membantu pertikaian-pertikaian yang ada di dunia. Pada tahun 1960, minat terhadap konflik Palestina dan Israel muncul, hal ini disebabkan karena ia dan istrinya mengunjungi Tanah Suci. Saat itu pun sang istri, Peggy juga seorang aktivis kemanusiaan dalam CPT yang di delegasikan untuk pergi ke Tepi Barat. Kali ini merupakan tim CPT bekerja di Timur Tengah.
Pada tahun 1995, salah seorang pemimpin mereka memanggil Arthur untuk bergabung dengan tim misi kemanusiaan di Hebron pada bulan Desember.
Maka sejak itu, dimulailah "petualangan" sang aktivis di daerah yang penuh dengan konflik berdarah.
Pada awal-awal bulan menginjakkan kaki di Hebron (misi kemanusiaan ini dijalankan sejak tahun 1995 hingga 2001), Arthur berusaha bersosialisasi kepada semua kalangan. Baik itu para pemukim Palestina, Israel maupun para tentara. Ini merupakan hal baru bagi dirinya, dan ia melihat dengan jelas sekali bagaimana rakyat Palestina menderita akibat konflik yang berkepanjangan. Tidak jarang pula, ia dan rekannya dianggap 'cinta palestina' oleh masyarakat Israel dan para tentara, tapi tak jarang pula ia dianggap sebagai 'sahabat Israel' oleh bangsa Palestina.
Pada awalny Gish, tidak terlalu mempercayai bahwa konflik yang terjadi antara Palestina dan Israel sudah sedemikan parahnya. Tapi, sejak menginjakkan kaki di Hebron, semua yang tidak pernah ia bayangkan terjadi di depan matanya. Ia terus memahami dan mengkaji perjanjian-perjajian tempo dulu antara pihak Palestina dan Israel. Dimatanya, perjanjian-perjanjian itu tidaklah adil karena hanya menguntungkan bagi satu pihak saja, yaitu Israel. Gish merasa sedih, melihat sedikit demi sedikit pemukiman warga asli Palestina mulai di gusur guna pembangunan jalan raya bagi kepentingan para pemukim yaitu warga Israel, tanpa memperbolehkan warga Palestina untuk menggunakannya. Menurutnya perjanjian itu terlalu semena-mena terhadap warga Palestina.
Selain itu juga, tingkah para polisi Israel yang tidak menghormati dirinya. Sering kali ia diminta untuk menjadi memata-matai para pemukim Palestina. Padahal hal itu tidaklah sesuai dengan misi yang ia emban. Masih banyak sekali pihak Israel yang tidak mengetahui misi dan visi kedatangan Gish beserta kawannya. Kebanyakan mereka menganggap Gish merupakan kelompok mediator atau kelompok dari aksi solidaritas. Dan yang lebih parahnya, ada yang menganggap dirinya bekerja untuk mata-mata negara tertentu.
Sebagai seorang yang beragama Kristen yang taat. Gish amat dan sangat menentang zionisme Israel. Baginya itu adalah penyelewengan terhadap keyakinan dan pemahaman Alkitab. Tuhan bukanlah makelar tanah. Pemahaman apapun menyangkut hak eksklusif dan membenarkan pengusiran penduduk dari rumahnya merupakan salah satu bentuk dari pengingkaran terhadap Tuhan. karena Tuhanlah sang pemilik yang abadi.
Gish merupakan pribadi yang lembut, menghargai segala macam bentuk perbedaan. Hal ini pun terlihat pada dirinya mengenai kekagumannya terhadap bangsa Palestina. Meskipun nyaris setiap hari warga Palestina mendapatkan ancaman dan tekanan dari polisi Israel, tapi mereka semua berusaha tabah menghadapinya. Kesederhanaan dan keoptimisan hidup selalu terpancar di muka-muka mereka. Di tengah-tengah konflik yang entah kapan akan berakhir, para warga Palestina terus menerus menjalani perintah agamanya.
Gish pun juga amat terkesan dengan cara berpakaian perempuan Palestina. "Wanita tidak berpakaian sebagai objek seks" ungkapnya (hal 148). "Sungguh melegakan jika kaum pria tidak selalu harus berjuang melawan godaan untuk menganggap wanita yang berpakaian kurang senonoh sebagai objek seks". Lanjutnya, "kebudayaan muslim Palestina ini bagiku sepertinya jauh lebih dekat kepada apa yang Tuhan inginkan atas kita daripada kebudayaan Barat".
****
Membahas mengenai krisis Palestina dan Israel inipun seakan tidak ada ujungnya. Perbuatan yang dilakukan oleh bangsa Israel pun sudah diluar dari batas kewajaran dan kemanusiaan. Konflik ini pun sudah bergeser tujuannya, semula merupakan konflik antar agama tapi bergeser kepada konflik kemanusiaan. Mereka tidak akan ragu-ragu untuk melawan siapa saja yang akan melintasi daerah Palestina, meskipun itu adalah bantuan kemanusiaan.
Ahh...Israel....Israel... kapan kamu akan bertobat ???
Dan untuk Palestina, teruslah berjuang untuk meraih hak kalian yang telah di rampas, meskipun kita tidak pernah tahu kapan itu akan terjadi .....!!
We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight (Michael Hart)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar